Saya merasa prihatin setelah membaca SOLOPOS (18/2). Kondisi pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Boyolali dalam keadaan tidak ideal. Status PNS di Boyolali sebagai abdi negara kini tidak ubahnya menjadi barang yang mudah dilemparkan ke sana ke mari.
PNS Boyolali yang notabene memiliki organisasi resmi bernama Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) justru menjadi tidak berfungsi karena ada ”Korpri Jalanan”. ”Korpri Jalanan” ini bernama paguyuban PNS kecamatan yang kekuatan mobilisasinya lebih besar daripada Korpri Kabupaten Boyolali.
Dan yang lebih tidak bisa dipahami lagi adalah peran kakak kandung Bupati Boyolali yang notabene berada di luar struktur PNS, tapi justru lebih dominan dengan berpidato panjang lebar menceramahi para PNS Boyolali.
Kakak kandung Bupati Boyolali ini dengan lantang menceramahi PNS Boyolali melalui paguyuban-paguyuban di kecamatan yang dibentuk, misalnya Paguyuban Baladewa di Kecamatan Teras, Bratasena di Kecamatan Banyudono dan Wijayakusuma di Kecamatan Simo. Sedemikian parahkah kondisi dan nasib PNS di Boyolali saat ini?
Pertama, hampir seluruh PNS di Boyolali tidak memiliki daya melawan hegemoni kekuasaan ”tangan besi” Bupati Boyolali (yang dalam hal ini dilakukan kakak kandungnya). Padahal, para PNS Boyolali ini sadar tindakan Bupati Boyolali bertentangan dengan kewajiban dan keinginan dirinya.
Namun, bila para PNS di Boyolali ini tidak mengikuti kebijakan Bupati Boyolali (yang saya nilai arogan) maka akan dianggap tidak loyal dan bukan tidak mungkin dianggap sebagai pengkhianat serta langsung masuk ”kotak”.
Kedua, terjadi demoralisasi PNS di Boyolali. Realitas yang terjadi adalah tidak berjalannya birokrasi pemerintahan Boyolali secara wajar akibat rendahnya etos kerja dan ketidakharmonisan antaraparatur pemerintah.
Sinyal demoralisasi PNS di Boyolali ini bisa dibaca dari rendahnya profesionalisme, pekerjaan yang tidak sesuai kompetensi, kondisi yang pro-kontra serta terkotak-kotak hingga terjadi dendam politik secara pribadi kepada Bupati Seno Samodro bila kelak sudah tidak menjabat Bupati Boyolali.
Ketiga, PNS di Boyolali hanya menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Fungsi profesionalisme PNS Boyolali yang mestinya sebagai pelayan publik dan instrumen melaksanakan kebijakan kini berubah menjadi pesuruh ”kekuasaan jalanan” yang tidak berada di ranah kekuasaan formal.
Artinya, PNS di Boyolali mengalami kelumpuhan menjalankan fungsi sebagai abdi negara secara benar. Keempat, terjadi komodifikasi jabatan PNS di Boyolali. Ironisnya, rata-rata birokrat Boyolali terlalu sayang dengan jabatan dan takut kehilangan jabatan mereka. Akibatnya, jabatan menjadi komoditas yang mudah untuk diperjualbelikan oleh penguasa Boyolali.
Bahkan, jabatan ”basah” maupun ”kering” kini (saya perkirakan) menjadi salah satu sarana investasi untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Boyolali 2010.
Kelima, terjadi koncoisme dan kronisme di internal kalangan PNS Boyolali. Agar jabatan aman, banyak PNS yang rela mengabdi menjadi konco dan kroni kerabat Bupati Boyolali. Para PNS ini rela dan bersedia melakukan apa pun yang diinginkan orang-orang ”luar” tetapi dekat dengan Bupati Boyolali.
Bahkan, para PNS ini mau untuk melakukan tindakan yang menjurus ranah korupsi, manipulasi dan intimidasi, baik terhadap para PNS lain yang tidak sejalan ataupun kepada masyarakat.
Terbuka
Kegundahan saya selama kian bertambah karena PNS Boyolali hanya dijadikan ajang ”sepak bola” oleh penguasa Boyolali. Sikap diam serta nrima para PNS Boyolali, jutru membuat Bupati Boyolali semakin arogan karena seolah-olah tak ada yang berani melawan kekuasaannya.
Lantas, bagaimana semestinya sikap para PNS Boyolali melawan arogansi Bupati Boyolali saat ini? Pertama, PNS Boyolali harus berani melawan secara terbuka terhadap kebijakan Bupati Boyolali yang suka memutasi para PNS dengan pertimbangan tak jelas.
Para PNS di Boyolali dapat belajar dari pengalaman kasus yang nyaris sama di Kabupaten Temanggung pada 2005. Saat itu, PNS di Temanggung berani melakukan aksi mogok kerja dan berhasil melawan kesewenang-wenangan Bupati Temanggung, Totok Ary Prabowo.
Berkaca dari Kasus Temanggung, jika PNS Boyolali kompak, akan dapat mengalahkan kekuatan politik yang sewenang-wenang di Boyolali. Namun, jika PNS Boyolali lemah, akan mudah dipecah-pecah melalui politisasi PNS.
Artinya, keberanian PNS Boyolali untuk kompak dan bersatulah yang akan menyelamatkan mereka dari neraka politisasi birokrasi saat ini. Beranikah PNS Boyolali ini melawan Bupati Boyolali secara terbuka?
Kedua, PNS Boyolali harus berani melawan melalui jalur hukum. Andaikan yakin bahwa mutasi dilakukan Bupati Boyolali secara asal-asalan, seharusnya PNS Boyolali berani menggugat Bupati Boyolali ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Para PNS di Boyolali harus berani mencontoh keberanian Rustam Effendi, Sekretaris Dinas Perhubungan di Kabupaten Kubu Raya, yang dipecat oleh Bupati Kubu Raya. Rustam merasa dizalimi karena kemudian dipecat dari status PNS-nya. Rustam menggugat Bupati Kubu Raya ke PTUN Pontianak dan akhirnya menang.
Seandainya ribuan PNS di Boyolali yang menjadi korban mutasi menggugat Bupati Boyolali ke PTUN, pasti akan menjadi peristiwa besar. Bupati Boyolali pasti akan pusing tujuh keliling karena harus bersidang di pengadilan setiap hari serta tidak akan sempat bekerja maksimal.
Langkah ini perlu dicoba dan para PNS Boyolali tidak perlu takut seandainya kalah sidang karena tidak dapat dipecat dari status sebagai PNS. Konsekuensi terburuk hanya tidak diberi jabatan oleh Bupati Boyolali.
Ketiga, PNS di Boyolali harus meminta pertanggungjawaban pengurus Korpri Boyolali. Sosok Sekda Boyolali (yang notabene adalah Ketua Korpri Boyolali) seharusnya dituntut pertanggungjawabannya karena telah menjual harga diri lembaga.
Korpri Boyolali hampir tak punya rasa kesetiakawanan terhadap para PNS korban mutasi. Korpri Boyolali semestinya memberi perlindungan mengingat jiwa korsa sesama anggota agar birokrasi memiliki harga diri dan tak mudah dipolitisasi oleh Bupati Boyolali. Korpri Boyolali secara kelembagaan seharusnya difungsikan secara benar dan berani, yakni sebagai pengayom bagi anggotanya.
Alangkah tragisnya bila Korpri yang dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) No 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, justru kalah berwibawa dibandingkan Paguyuban Baladewa, Paguyuban Bratasena atau Paguyuban Wijayakusuma. Menurut saya, pilihannya adalah lawan politisasi PNS Boyolali atau selamanya PNS Boyolali tertindas!
Bramastia Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.