You and Me Never Walk Alone

Saturday, June 29, 2013

Penyakit Hooliganism

Inggris pernah menjadi “tanah air” kerusuhan sepak bola.  Di negara itulah fenomena hooligans kali pertama muncul. Sempat menjadi "penyakit", kini hooliganism di Eropa, khususnya di Inggris, sudah mampu dijinakkan. Bagaimana di Indonesia?

Kerusuhan suporter sepakbola di Inggris awalnya kerap terjadi di tahun 1880an. Namun, penggunaan kata hooligans untuk menggambarkan kerusuhan suporter di sepakbola baru terjadi pada pertengahan 1960an. Seperti dikutip dari Liverpool's Football Industry Group, penggunaan kata hooligans mulai ramai digunakan media-media Inggris di era 1960an.

Kata Hooliganism dipakai oleh media Inggris untuk menujukkan suatu sikap perusak, rusuh, antisocial, dan tak tahu aturan. Ada beberapa versi asal kata hooligans. Seperti dilansir History House, salah satunya diambil dari nama sebuah geng yang meresahkan London pada 1894an, The Hooligan Boys.

Pada akhir 1970an hingga pertengahan 1980an, hooligans terus mencoreng persepakbolaan Inggris. Suporter The St George's Cross ketika itu memiliki reputasi terburuk di seluruh Eropa. Bahkan masalah hooligans sempat dianggap sebagai "English Disease" atau penyakit Inggris.

Dua Tragedi: Heysel dan Hillsborough

Ada dua insiden yang sangat mencoreng persepakbolaan Inggris, yakni tragedi Heysel pada 29 Mei 1985, dan tragedi Hillsborough pada 15 April 1989.

Pada tragedi Heysel, Brussels, Belgia, saat duel Liverpool lawan Juventus di final European Cup (kini Liga Champions), tercatat 39 suporter meninggal, dan 600 lainnya luka-luka. Suporter Liverpool dinyatakan bersalah, dan imbasnya klub-klub Inggris dilarang tampil di kompetisi Eropa selama lima tahun.

Korban jiwa lebih banyak terjadi di tragedi Hillsborough. Pada pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool melawan Nottingham Forest, 96 suporter meninggal. Kedua tragedi itu membuat pemerintah Inggris kian serius menanggulangi kerusuhan suporter.

Pada 1986, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan The Public Order Act, yang mengizinkan pengadilan melarang seorang suporter datang ke stadion. Setelah itu muncul undang-undang Football Spectators Act 1989, yang melarang hooligans terhukum menghadiri pertandingan internasional.

Dua tahun kemudian muncul The Football Offences Act 1991, yang secara khusus melarang suporter melempar barang ke dalam lapangan, dan nyanyian rasial. Namun, rentetan undang-undang itu tidak membuat hooligans kapok.

Pada perhelatan Piala Eropa 2000, hooligans kembali membuat ulah di Charleroi, Belgia. Ketika itu ratusan perusuh itu ditangkap polisi sebelum dan setelah laga Inggris melawan Jerman. Pasca-kerusuhan itu, pemerintah Inggris mengeluarkan undang-undang Football (Disorder) Act 2000.

Dalam undang-undang Football (Disorder) Act 2000, pemerintah Inggris benar-benar mengontrol hooligans. Bahkan dalam salah satu pasal di undang-undang itu disebutkan, hooligans yang bermasalah harus menyerahkan paspor mereka selama jadwal pertandingan internasional, agar tak bisa pergi ke luar negeri. Hasilnya, Inggris mampu mengontrol hooligans hingga kini.

Untuk mengontrol suporter di Premier League, klub-klub juga membantu Asosiasi Sepakbola Inggris (FA). Klub-klub Premier League akan menghukum penonton atau melarang mereka ke dalam stadion jika membuat kerusuhan. Kontrol itu bisa dilakukan melalui dicabutnya kartu anggota klub dan tiket musiman sang suporter.

Senjata memperbanyak CCTV di sekitar stadion juga ampuh di Inggris. Dengan demikian, polisi bisa mengidentifikasi suporter pembuat onar. "Sekarang bukan masalah Anda bisa bebas dalam satu hari. Karena adanya CCTV, enam bulan kemudian, Anda bisa ditangkap," ujar salah satu dedengkot hooligans Birmingham City The Zulus, Wally, seperti dikutip dari The Guardian.

Bagaimana Indonesia?

Di Indonesia, dalam skala berbeda, kerusuhan suporter sepakbola juga kerap terjadi. Tak jarang kerusuhan itu makan korban jiwa. Sayang, meski sepakbola jadi olahraga nomor satu, hingga kini Indonesia, tak punya undang-undang khusus mengatur suporter sepakbola.

Persaingan suporter di Indonesia melibatkan sejumlah kelompok suporter, seperti The Jakmania (suporter Persija), Viking (kelompok suporter Persib), Aremania (Arema) dan Bonek (Persebaya). Namun, belakangan persaingan The Jakmania, dan Viking yang sering menjadi sorotan utama.

Penyerangan bus tim Persib Bandung oleh suporter The Jakmania, Sabtu 22 Juni 2013, adalah contoh teranyar. Bahkan tahun lalu, tiga suporter tewas usai pertandingan Persija melawan Persib di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Kehadiran The Jakmania dianggap bak buah simalakama. Di satu sisi kehadiran mereka sangat penting di stadion untuk mendukung Persija, dan pemasukan klub, tapi di sisi lainnya tak jarang The Jakmania melakukan kerusuhan. Kondisi itu membuat Persija beberapa kali harus menjalani laga kandang tanpa penonton, bahkan sempat mengungsi dari Jakarta.

Banyak cara dilakukan Jakmania mengantisipasi kerusuhan suporter. Salah satunya mengontrol suporter melalui kartu anggota. Selain itu Jakmania memiliki pengamanan internal pada hari H pertandingan Persija. Bahkan Jakmania sudah melakukan MoU dengan Polda Metro Jaya.

Beberapa poin MoU itu adalah menjaga kota Jakarta tetap aman saat laga Persija, berdisiplin taat tertib berlalulintas ketika pertandingan Persija, dan bekerjasama menindak setiap anggota Jakmania yang melanggar hukum. Sayang, sejumlah langkah itu belumlah cukup.

Viking sendiri tak punya langkah khusus mengatasi kerusuhan suporter. Ketua Viking, Heru Joko, kepada VIVAnews mengatakan pihaknya sudah tak lagi memakai sistem kartu anggota. Namun, hal itu tidak langsung membuat Viking melakukan kerusuhan.

"Kami akui kami kecolongan mengenai aksi sweeping mobil berpelat B akhir pekan lalu. Tapi, sebelum-sebelumnya Viking sudah jarang rusuh. Ke depannya, kami ingin memperbanyak aksi damai bersama Bobotoh," ucap Heru.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Rikwanto, mengatakan pihaknya selalu terbuka dengan Jakmania. Namun, Rikwanto menegaskan Polda Metro Jaya tak akan segan-segan menghukum suporter yang melanggar hukum.

Khusus pertandingan tunda Persija melawan Persib, 28 Agustus 2013, Rikwanto menyarankan agar laga digelar di tempat netral. Sayang, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah perseteruan antara Jakmania dan Viking.

"Solusinya yakni penegakan hukum, antar keduanya melakukan pertemuan, dan sanksi dari PSSI. Kami menyarankan, ke depan pertandingan antara Persija dengan Persib tak dilakukan di Jakarta, di daerah netral saja. Ini untuk mengantisipasi jatuhnya korban," ujar Rikwanto.

Menggelar pertandingan tanpa penonton, pembekuan izin pertandingan, dan partai usiran, terkesan menjadi salah satu cara pihak kepolisian mengantisipasi kerusuhan suporter. Perlu diingat, sepakbola adalah hiburan masyarakat Indonesia, mulai dari kelas bawah hingga atas.

Perlu dicari cara efektif mengantisipasi kerusuhan suporter. Nyawa seseorang terlalu berharga untuk melayang gara-gara rusuh sepakbola. Dan, lagi pula, menonton sepakbola bukanlah tindakan kejahatan.


sumber

0 komentar:

Post a Comment