Jika dilihat dari aspek tertentu ogoh-ogoh memiliki beberapa definisi, bagi
orang awam ogoh–ogoh adalah boneka raksasa yang diarak keliling desa pada saat
menjelang malam sebelum hari raya nyepi (ngerupukan) yang diiringi dengan
gamelan bali yang disebut BLEGANJUR , kemudian untuk dibakar. Menurut
Wilkipedia bahasa Indonesia,”Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan bali
yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala,” Bhuta berarti waktu yang tidak
terukur,sedangkan Khala berarti kekuatan.dari arti kata diatas maka para
cendekiawan hindu dharma mengambil kesimpulan bahwa proses perayaan Ogoh-ogoh
melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta, dan waktu yang maha
dasyat, kekuatan itu dapat dibagi dua, pertama kekuatan bhuana agung, yang
artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan Bhuana alit yang bearti
kekuatan dalam diri manusia. kedua kekuatan ini dapat digunakan untuk
menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah.
Definisi Ogoh-Ogoh
Sedangkan Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi tahun 1986, Ogoh-Ogoh
didefinisikan sebagai ondel-ondel yang beraneka ragam dengan bentuk yang
menyeramkan. Di lain pihak, ditahun 2003 seorang peneliti yang bernama Laura
Noszlopy meneliti “Pesta Kesenian Bali; budaya, politik, dan kesenian
kontemporer Indosnesia” untuk Yayasan Arts of Afrika mendefinisikan ogoh-ogoh
sebagai berikut Ogoh-ogoh adalah patung yang berukuran besar yang tebuat dari
bubur kertas dan bahan pelekat yang biasanya dibuat oleh kaum remaja Bali
sebagai suatu bagian dari perayaan tahunan “upacara pembersihan” (ngerupukan),
yang dilaksanakan sehari sebelum perayaan Nyepi, tahun baru Hindu atau hari
Nyepi.
Awal Mula Munculnya Ogoh-Ogoh
Banyaknya fersi yang yang beredar di masyarakat bali yang menjelaskan
tentang awal mula munculnya ogoh-ogoh tersebut , sehingga untuk mengeathui
kapan awal mula munculnya ogoh-ogoh secara pasti sangatlah sulit. Diperkirakan
ogoh-ogoh tersebut dikenal sejak jaman Dalem Balingkang dimana pada saat itu
ogoh-ogoh digunakan pada saat upacara pitra yadnya(upacara yang pemujaan yang
ditujukan kepada para pitara dan kepada roh-roh leluhur umat hindu yang telah
meninggal dunia). Pendapat lain menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi
dari tradisi Ngusaba Ndong-Nding di desa Selat Karangasem.
Perkiraan lain juga muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan
perwujudan dari Raden Datonta dan Sri Dewi Baduga (pasangan suami istri yang
berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) merupakan
cikal-bakal dari munculnya ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain
juga menyatakan bahwa ogoh-ogoh itu muncul tahun 70-80’an.. Ada juga pendapat
yang menyatakan ada kemungkinan ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin
patung yang telah merasa jenuh membuat patung yang berbahan dasar batu padas,
batu atau kayu, namun disisi lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka
dalam mematung, sehingga timbul suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan
yang ringan supaya hasilnya nanti bisa diarak dan dipertunjukan.
Arak-arakan Ogoh-ogoh
Dalam rangkaian Nyepi di Bali yang bertepatan dengan Sasih Kesange (bulan
kesange) atau pada penanggalan masehi bertepatan dibulan Maret atau April,
upacara yang dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut:
1.
Di ibu
kota provinsi dilakukan upacara Tawur.
2.
Di
tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud.
3.
Di
tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak.
4.
Di
tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata.
5.
Dan di
tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.
Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan
(sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan
nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipajangkanlah
sanggah cucuk (terbuat dari bambu) yang di tambahi dengan penjor atau dalam bahasa
Indonesia biasa disebut umbul-umbul dan di situ umat menghaturkan banten
daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng
jangan-jangan serta perlengkapannya.
Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi
arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh,
segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak,
berem, tuak dan air tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua
anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan
upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di
halaman rumah. Upacara Bhuta Yajna di tingkat provinsi, kabupaten dan
kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala
tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada
saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan
upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngerupuk pada saat
sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur.
Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau
banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari
Raya Nyepi. Sejak tahun 80-an, umat hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan
satu dengan acara mengelilingi desa dengan membawa obor atau yang diebut acara
ngerupuk. Sebelum memulai pawai ogoh-ogoh para peserta upacara atau pawai
biasanya melakukan minum-minuman keras traditional yang dikenal dengan nama
arak Pada umumnya ogoh-ogoh di arak menuju sutau tempat yang diberi nama
sema(tempat persemanyaman umat hindu sebelum di bakar dan pada saat pembakaran
mayat) kemudian ogoh-ogoh yang sudah diarak mengelilingi desa tersebut dibakar.
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai
dengan diiringi irama gamelan khas bali yang diberi nama BleganjurPatung yang
dibuat dengan bahan dasar bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana
itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan
rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngerupuk. Karena tidak ada hubungannya
dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara
tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan
upacara.
Makna yang Terkandung Dalam Pawai
Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia: adharma
svarupa; sehingga pengarakannya berbagai lokasi di sekitar banjar atau desa,
yang melewati jalan-jalan utama sehingga tampak oleh semua warga banjar yang
memiliki suatu makna tersendiri. Kehidupan selalu memiliki elemen yang positif
maupun negatif, hal ini selalu ada di dalam diri manusia, dan jika kita bijaksana
untuk bersedia melihatnya, kita tidak akan menyangkalnya. Ogoh-ogoh yang
dibangun bersama secara swadaya oleh masyarakat banjar, secara implisit,
memberikan ide bagi kita semua untuk bersedia melihat sifat-sifat negatif dalam
diri kita, dan menjadi terbuka akannya, bahwa hal itu bukanlah hal yang harus
ditakuti, namun untuk kita lihat dan amati bersama, sehingga kita dapat
memahaminya. Tradisi ini mengingatkan masyarakat Bali khususnya.
Selain itu ogoh-ogoh diarak keliling desa bertujuan agar setan-setan yang
ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh, Karen setan setan tersebut
menganggap bahwa ogo-ogoh tersebut merupakan rumaah merak dan kemudian ikut di
bakar.minum minuman keras tradisional khas bali yang di namai arak subelum
mengarak ogoh-ogoh dengan cara diangkat.mabuk karena minum arak di bali bukan
sesuatu yang dilarang malah itu adalah hal yang dianjurkan oleh agama
mereka,sebagqaimana kita tahu masyrakat bali yang mayoritas beragama hindu
memiliki banyak sekali Dewa,begitu pula prilaku yang jahat mereka memiliki dewa
untuk hal tersebut, yaitu Dewa atau Batara Kala.
Sebenarnya hal ini dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kepercayaan
yang diyakini oleh orang bali, yaitu hal-hal yang terjadi di dunia ini selalu
berpasangan, sebagai contoh ada orang baik dan ada juga orang jahat, ada
kematian tapi ada juga bayi yang baru lahir, atau pemahaman lebih sederhananya
yaitu ada warna hitam ada juga warna putih, jadi apapun yang terjadi dalam
kehidupan manusia selalu berjalan dengan seimbang, jadi ritual meminum arak
bagi orang yang mengarak ogoh-ogoh di anggap sebagai perwakilan dari sifat
buruk yang ada di dalam diri manusia.
Bahwa beban dari berat yang mereka gendong adalah sebuah sifat negatif,
seperti cerminan sifat-sifat raksasa, ketika manusia menyadari hal ini, mereka
tidak akan menahan elemen-elemen ini sendirinya, dan membiarkan elemen ini
menjadi tiada seperti abu dan debu yang tertiup angin. Sehingga biasanya,
secara tradisional, di akhir pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat akan membakar figur
raksasa ini, boleh jadi dikatakan membakar (membiarkan terbakar habis)
sifat-sifat yang seperti si raksasa.Ketika semua beban akan sifat-sifat negatif
yang selama ini mengambil (memboroskan) begitu banyak energi kehidupan
seseorang, maka seseorang akan siap memulai sebuah saat yang baru, ketika
segalanya menjadi hening, masyarakat diajak untuk siap memasuki dan memaknai
Nyepi dengan sebuah daya hidup yang sepenuhnya baru dan berharap menemukan
makna kehidupan yang sesungguhnya bagi dirinya dan segenap semesta.
Bentuk Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh sendiri memiliki peranan sebagai simbol atau pemvisualisasian
prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta (kekuatan
alam). Dimana ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan
Bhuta kala yakni unsur alam yang terdiri dari air, api, cahaya, tanah, dan
udara yang divisualkan dalam wujud yang menyeramkan dan bentuknya yang sangat
besar, karena jika kekuatan alam itu berlebihan tentunya akan menjadi kekuatan
yang merusak dan menyeramkan, ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah
warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang
tinggi dan dijiwai agama Hindu.
Pada awal mula diciptakannya ogoh-ogo dibuat dari rangka kayu dan bambu
sederhana, rangka tersebut dibentuk lalu dibungkus kertas. Pada perkembangan
jaman yang maju pesat ogoh-ogoh pun terimbas dampaknya, ogoh-ogoh makin
berinovasi, ogoh-ogoh dibuat dengan rangka dari besi yang dirangkaikan dengan
bambu yang dianyam, pembungkus bodi ogoh-ogoh pun di ganti dengan gabus atau
stereofoam dengan teknik pengecatan. Tema ogoh-ogoh pun semakin berfariasi,
dari tema pewayangan, modern, porno sampai politik yang tidak mencerminkan
makna agama. Tema ogoh-ogoh yang diharapkan adalah sesuai dengan nilai agama Hindu
yaitu tidak terlepas dari Tuhan, Manusia dan Buta Kala sebagai penyeimbang
hubugan ketiganya.
Ogoh-ogoh simbol Kala ini haruslah sesuai dengan sastra agama yang diatur
dalam pakem dan bukan seperti yang beberapa dibuat saat ini, karena banyak kita
lihat kala dibuat berbentuk manusia lucu, Rocker, punk, inul, manusia, raksasa
sexy dan seronok. Tapi dari sudut pandang lain mengatakan ogoh-ogoh itu
merupakan kreativitas anak muda yang mengekploitasi bentuk gejala alam dan
fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat saat ini jadi tidak perlu adanya
pembatasan ataupun pengekangan dalam berekspresi.Dampak Dari Perayaan Ogoh –
Ogoh Dari peraya ogoh tersebut banyak dampak yang tibul dalam masyarakat bali
atau pun dari luar dampak positif namun juga menghadirkan dampak negatif .
Dapak dampak tersebut seperti:
• Dampak positif dari perayaan ini seperti menjadi hiburan ter sendiri bagi
umat hindu dan non hindu, menarik banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri,
karena ogoh-ogoh adalah sebuah patung yang sangat besar maka di butuhkan banyak
orang untuk mengaraknya dari sanalah rasa persatuan dan kesataun diantara umat
hindu, dalam pebuatan ogoh-ogoh yang mengandung unsur seni dapat menghidupkan
kreatifitas pada pemuda pemusik bali,
• Dampak negatif yang timbul dari
perayaan ogoh-ogoh seperti pertikaian baik kecil maupun besar antara warga
(khususnya kaum pemuda) akan hal-hal yang secara personal tidak terkait dengan
pemaknaan pangrupukan sendiri; Anda dapat bayangkan kelompok warga yang tumpah
ruah ke jalan-jalan menyaksikan arak-arakan yang ada dari desa ke desa hampir
di seluruh Bali. Dalam pembuatan ogoh-ogoh memerlukan biaya yang tidak sedikit
untuk mendapatkan biaya yang sebabyak itu para pemuda meminta sumbangan kepada
para warganya. Yang menjadi masalah apa bila pemungutan sumbangan tersebut
bukan pada tempatnya seperti pemuda banjar yang berbeda meminta kepada warga
bajar yang berbeda, akhirnya warga menjadi resah.
Dampak negative yang terjadi karena pawai tersebut adalah hal yang wajar,
tergantung bagiaman cara pandang kita untuk menanggapinya, karena dalam pawai
mengarak ogoh-ogoh tersebut merupakan pawai yang sangat ramai semua orang tupah
ruah di jalan raya demi menyaksikan pawai ogoh-ogoh di tambah para pengarak
yang sudah mabuk dahulu sebelum mengaraknya dan tidak sadar. Sedangkan dalam dana pembuatan
ogoh-ogoh yang membutuhkan dana hinga berpuluh juga juga perlu pemikiran yang
cerdas dari pemuda agar tidak membuat resah warganya.
thanks to nanyabali
thanks to nanyabali
maaf tapi saya rasa minuman keras atau arak di bali tidak anjurkan !!!!!!
ReplyDelete@anonym jika kini demikian adanya, sungguh baik dan perlu didukung anjuran tersebut untuk menepikan minuman keras dalam semua perayaan ibadah.
ReplyDeletesemua konsep yang anda buat ini salahhh besar. saran saya jika tidak mengetahuai tentang agama hindu,sebaiknya bertanya pada sumber yang benar, sehingga tidak menimbulkan konflik.
ReplyDelete